Secara garis besar, membukukan mimpi Nabi Muhammad SAW untuk menetapkan nasab, terutama dalam konteks kontemporer, umumnya dianggap tidak valid dan tidak dapat dijadikan dalil (bukti hukum) yang kuat. Berikut adalah beberapa alasan utama dari sudut pandang syariat Islam:
1. Sifat Mimpi dalam Islam
Mimpi, bahkan mimpi yang benar (ru'ya shadiqah), tidak dapat dijadikan dasar untuk penetapan hukum syariah (itsbat hukmi) atau penetapan fakta (itsbat waqi'i) seperti nasab. Nasab adalah masalah yang sangat penting dan memiliki konsekuensi hukum yang serius (seperti dalam warisan, pernikahan, dll.) Oleh karena itu, nasab harus ditetapkan berdasarkan bukti yang pasti dan tidak meragukan.
2. Dalil yang Diakui dalam Syariat
Penetapan nasab dalam Islam harus didasarkan pada dalil-dalil yang kuat dan pasti (qath'i), bukan dalil yang bersifat dugaan (zhanni). Dalil-dalil ini mencakup:
𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗙𝗶𝘀𝗶𝗸: Seperti akta kelahiran atau catatan silsilah yang dapat diverifikasi secara historis.
𝗣𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝘂𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗦𝗮𝗸𝘀𝗶: Pengakuan dari pihak-pihak terkait dan kesaksian dari orang-orang yang terpercaya.
𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗣𝗲𝗿𝗸𝗮𝘄𝗶𝗻𝗮𝗻: Bahwa anak lahir dari pernikahan yang sah.
Mimpi tidak termasuk dalam kategori dalil-dalil tersebut.
3. Potensi Adanya Kesalahan dan Pemalsuan
Meskipun seseorang bisa bermimpi melihat Nabi Muhammad SAW, interpretasi mimpi tersebut bisa saja keliru. Selain itu, ada potensi besar bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengklaim mimpi palsu demi keuntungan pribadi, termasuk untuk mendapatkan status sosial atau keuntungan lainnya.
Penting untuk diingat bahwa setan tidak dapat menyerupai Nabi dalam mimpi, namun setan bisa saja mengelabui seseorang agar ia percaya bahwa ia telah bertemu Nabi.
4. Pentingnya Nasab yang Jelas dan Terverifikasi
Syariat Islam sangat menjaga kejelasan nasab. Hal ini untuk menghindari kekacauan dalam hukum waris, pernikahan, dan tanggung jawab lainnya. Membuka pintu penetapan nasab melalui mimpi akan merusak tatanan sosial dan hukum yang telah ditetapkan.
Penutup
Berdasarkan prinsip-prinsip syariah, membukukan mimpi Nabi Muhammad SAW untuk itsbat nasab Habib atau nasab siapa pun tidak dapat dibenarkan. Hal ini karena mimpi tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti dan membuka celah bagi penyalahgunaan serta kekacauan sosial. Penetapan nasab harus didasarkan pada bukti-bukti yang jelas, terverifikasi, dan dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang telah disepakati oleh para ulama.
Penting bagi kita untuk selalu merujuk pada dalil-dalil yang shahih dan pendapat para ulama yang kompeten dalam memahami masalah-masalah keagamaan, terutama yang memiliki implikasi hukum dan sosial yang luas.
Artikel ini ditulis oleh: Hendri Asmoro